Potret Keluarga Jawa setelah 125 Tahun Empat Anak Mentas, Salimin Merasa Tugas Tuntas


 Masyarakat keturunan Jawa di Suriname kini bisa menikmati hidup dengan enak. Mereka memiliki segalanya. Wartawan Jawa Pos Arief Santosa yang kini berada di sana mencoba menyelami kehidupan keluarga Jawa di negeri itu.

SIAPA yang tak kenal Salimin Ardjooetomo di Suriname? Seniman berkepala gundul itu dikenal luas tidak hanya di kalangan keturunan Jawa, tapi juga kalangan bangsa lain di Suriname, karena kiprahnya di bidang pelestarian budaya dan bahasa Jawa. Lewat program Culture en Kuns –yakni program acara kebudayaan Jawa– di TV Garuda, Salimin banyak dikenal. Mulai warga biasa hingga para pejabat tinggi.

Selain itu, dia jadi masyhur berkat Kabaret Does yang dipimpinnya. Kabaret di Suriname bukan jenis tarian seksi seperti yang dipentaskan di Eropa atau Amerika Serikat, melainkan jenis kesenian menyerupai lawakan ala Srimulat di Indonesia. Saat ini hanya tinggal dua kelompok kabaret yang bertahan di Suriname. Selain Kabaret Does, ada Kabaret Taman Hiburan dari Desa Tamanrejo, Commonwijn.

Dari kabaret itulah, Salimin kemudian mendapat gelar Captaint Does. Sebab, dialah pemimpin kelompok lawak asal Desa Purwodadi, Lelydorp, Distrik Wanica, itu.

Tetapi, siapa sangka, di balik keterkenalan Salimin, kehidupan kesehariannya jauh dari kemewahan. Dia hidup cukup sederhana di rumahnya, Soekoredjoweg BR 27, Desa Purwodadi, bersama istri, dan empat anak yang seluruhnya sudah mentas.

Menurut dia, hidup tidak perlu bermewah-mewah. Asal sandang, pangan, dan papan (rumah) tercukupi, sudah wajib disyukuri.

”Sing penting, sehat kwarasan lan gelem nyambut gawe. Ning kene, asal gelem tandang gawe, mesti uripe mulyo. (Yang penting, sehat walafiat dan mau bekerja. Di sini asal mau bekerja, pasti hidup berkecukupan),” ujar salah seseorang sesepuh Desa Purwodadi itu.
Desa Purwodadi merupakan desa yang dihuni hampir 100 persen orang keturunan Jawa. Kini warganya berjumlah sekitar 3.000 jiwa, sudah lumayan banyak bila dibandingkan sembilan tahun silam. Otomatis rumah penduduk makin banyak dan bagus-bagus. Jalan desanya juga mulus-mulus. Setiap saat terlihat mobil berbagai merek melintas dengan kencang, keluar masuk desa.

Bahkan, kini empat supermarket milik warga Tionghoa mewarnai desa dengan dua masjid menghadap ke barat dan dua masjid menghadap ke timur itu. (Di Suriname, masih ada paham di sebagian masyarakat Islam Jawa bahwa salat itu mesti menghadap barat seperti yang diajarkan nenek moyang mereka dari Indonesia. Padahal, letak geografis Suriname berada di sisi barat Kakbah sehingga semestinya kiblat salat menghadap timur. Karena itu, hingga kini masih banyak masjid di Suriname yang posisi kiblatnya barat dan timur).

Tak jauh dari desa tersebut juga ada kasino yang memang dilegalkan di negara itu. Di tempat judi tersebut tak sedikit warga keturunan Jawa yang bertaruh memperebutkan ”endog blorok” alias jackpot.

Sekalipun Purwodadi banyak berubah, kondisi rumah Salimin hampir tak mengalami perubahan yang berarti. Sebagian dindingnya masih tetap memakai papan kayu (seperti rumah-rumah transmigrasi di Indonesia dulu), sebagian lainnya bertembok batako. Begitu pula atapnya, tetap memakai seng.

Yang berubah, kini rumah Salimin tampak sepi. Tak ada lagi anaknya yang tinggal serumah dengan dia. Rumah dengan ukuran sekitar 20 x 20 meter itu sekarang hanya ditinggali Salimin bersama istrinya, Roosmi Tambeng.

”Sakmeniko lare-lare sampun gadah griya piyambak-piyambak. Sampun urip dewe-dewe (Sekarang anak anak sudah punya rumah sendiri-sendiri. Sudah hidup sendiri-sendiri),” ujar presenter kondang itu.

Sembilan tahun silam, ketika Jawa Pos melakukan liputan suasana Ramadan dan Lebaran di Suriname, rumah Salimin masih ”didomplengi” dua anak terakhirnya. Yakni, Argyll Legiran (lahir pada weton Legi) dan Sabrina Tracey Leginie (juga weton Legi). Kini keduanya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri bersama suami atau istri dan anak-anaknya.

Argyll yang beristri Puji Lestari, perempuan asal Nglipar, Gunungkidul, Jogjakarta, menempati rumah di Jalan Poerworedjo (Poerworedjoweg), sekitar 200 meter dari rumah bapaknya. Pegawai rumah pemotongan hewan (RPH) itu kini sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Lalu, Sabrina sedang membangun rumah di pojok perempatan Jalan Soekoredjo dan Jalan Poerwodadi, sekitar 100 meter dari rumah Salimin. Sabrina yang bersuami Paris Partorejo dikaruniai tiga anak yang masih kecil-kecil.
Rumah Sabrina belum selesai. Padahal, sudah habis SRD 115 ribu (sekitar Rp 460 juta),” tutur Salimin yang pernah tampil bersama Kabaret Does di Festival Cak Durasim, Surabaya, pada 2007.

Begitu pula dua anak Salimin yang lain. Si sulung Harvey Ponirin (lahir Pon) bersama istri Soraya Karyo Sentono dan dua gadis ABG-nya tinggal di sebelah rumah orang tuanya. Lalu, anak nomor dua Migalda Warinie (lahir Wage) bersama suami Frenky Rabidin dan dua anaknya yang menginjak dewasa tinggal di Dekraneweg, sekitar 1 kilometer dari rumah bapaknya.

”Ibarate, tugas kulo sakniki sampun rampung. Lare-lare sampun mentas sedaya, sampun gadah tanggung jawab nguripi rayate piyambak-piyambak (Ibaratnya, tugas saya sudah selesai. Anak-anak sudah berkeluarga semua, sudah punya tanggung jawab menghidupi keluarganya masing-masing),” jelas kakek delapan cucu yang fasih berbahasa Jawa kromo (halus) itu.

Hampir seluruh anak dan menantu Salimin keluar rumah untuk bekerja. Mereka umumnya tipe pekerja keras. Baik menjadi pegawai negeri maupun pegawai swasta. Tak heran, hidup mereka kini berkecukupan.

Meski tidak bisa dibilang mewah, fasilitas di rumah anak-anak Salimin cukup lengkap. Mau apa saja ada. Bahkan, setiap rumah itu memiliki minimal dua mobil. Biasanya, satu mobil untuk bekerja di kantor, satu mobil lainnya untuk keperluan keluarga.

”Nang kene nek pingin urip kepenak ya kudu gelem kerjo rekoso. Ora iso males-malesan (Di sini kalau mau hidup enak ya harus bekerja keras. Tidak bisa malas-malasan),” tutur Harvey Ponirin yang bekerja di perusahaan minyak SOL.

Meski empat anaknya sudah mentas, Salimin tetap tak mau tinggal diam. Di usianya yang terbilang sudah sepuh, dia sampai sekarang masih tetap aktif bekerja sebagai penyiar TV Garuda milik pengusaha Jawa. Profesinya itu sekaligus dimaksudkan untuk ikut melestarikan budaya dan bahasa Jawa yang makin lama makin ditinggalkan warga keturunan Jawa.

”Budaya Jawa itu budaya kita sendiri. Jadi, kalau di antara kita tidak ada yang mau cawe-cawe nguri-uri (melestarikan), saya khawatir tak lama lagi warisan nenek moyang itu akan punah dari Suriname,” tandas pensiunan pegawai kantor kementerian kesosialan dan perumahan tersebut.

Bukan hanya teori, Salimin mempraktikkannya di dalam kehidupan keseharian keluarga besarnya. Misalnya, dalam berkomunikasi dengan anak-anak dan istrinya. Dia tetap memakai bahasa Jawa yang kental, selain dengan bahasa nasional Belanda dan bahasa pergaulan Taki-Taki.


”Supoyo basa Jawa ora ilang. Nek basa Jawa ilang, berarti wong Jawa ugi ilang (Agar bahasa Jawa tidak hilang. Kalau bahasa Jawa hilang, maka orang Jawa juga hilang,” tegas dia. Laporan Arief Santosa , Suriname
Bagikan berita :
 
Supported by : Creating Website | MENOREH . Net - Media Partner
Copyright © 2013. BUANA POST.Com - All Rights Reserved
Created by News BUANA.Com
KONTAK REDAKSI