Masyarakat
keturunan Jawa di Suriname kini bisa menikmati hidup dengan enak. Mereka
memiliki segalanya. Wartawan Jawa Pos Arief Santosa yang kini berada di sana
mencoba menyelami kehidupan keluarga Jawa di negeri itu.
SIAPA
yang tak kenal Salimin Ardjooetomo di Suriname? Seniman berkepala gundul itu
dikenal luas tidak hanya di kalangan keturunan Jawa, tapi juga kalangan bangsa
lain di Suriname, karena kiprahnya di bidang pelestarian budaya dan bahasa
Jawa. Lewat program Culture en Kuns –yakni program acara kebudayaan Jawa– di TV
Garuda, Salimin banyak dikenal. Mulai warga biasa hingga para pejabat tinggi.
Selain
itu, dia jadi masyhur berkat Kabaret Does yang dipimpinnya. Kabaret di Suriname
bukan jenis tarian seksi seperti yang dipentaskan di Eropa atau Amerika
Serikat, melainkan jenis kesenian menyerupai lawakan ala Srimulat di Indonesia.
Saat ini hanya tinggal dua kelompok kabaret yang bertahan di Suriname. Selain
Kabaret Does, ada Kabaret Taman Hiburan dari Desa Tamanrejo, Commonwijn.
Dari
kabaret itulah, Salimin kemudian mendapat gelar Captaint Does. Sebab, dialah
pemimpin kelompok lawak asal Desa Purwodadi, Lelydorp, Distrik Wanica, itu.
Tetapi,
siapa sangka, di balik keterkenalan Salimin, kehidupan kesehariannya jauh dari
kemewahan. Dia hidup cukup sederhana di rumahnya, Soekoredjoweg BR 27, Desa
Purwodadi, bersama istri, dan empat anak yang seluruhnya sudah mentas.
Menurut
dia, hidup tidak perlu bermewah-mewah. Asal sandang, pangan, dan papan (rumah)
tercukupi, sudah wajib disyukuri.
”Sing
penting, sehat kwarasan lan gelem nyambut gawe. Ning kene, asal gelem tandang
gawe, mesti uripe mulyo. (Yang penting, sehat walafiat dan mau bekerja. Di sini
asal mau bekerja, pasti hidup berkecukupan),” ujar salah seseorang sesepuh Desa
Purwodadi itu.
Desa
Purwodadi merupakan desa yang dihuni hampir 100 persen orang keturunan Jawa.
Kini warganya berjumlah sekitar 3.000 jiwa, sudah lumayan banyak bila
dibandingkan sembilan tahun silam. Otomatis rumah penduduk makin banyak dan
bagus-bagus. Jalan desanya juga mulus-mulus. Setiap saat terlihat mobil
berbagai merek melintas dengan kencang, keluar masuk desa.
Bahkan,
kini empat supermarket milik warga Tionghoa mewarnai desa dengan dua masjid
menghadap ke barat dan dua masjid menghadap ke timur itu. (Di Suriname, masih
ada paham di sebagian masyarakat Islam Jawa bahwa salat itu mesti menghadap
barat seperti yang diajarkan nenek moyang mereka dari Indonesia. Padahal, letak
geografis Suriname berada di sisi barat Kakbah sehingga semestinya kiblat salat
menghadap timur. Karena itu, hingga kini masih banyak masjid di Suriname yang
posisi kiblatnya barat dan timur).
Tak
jauh dari desa tersebut juga ada kasino yang memang dilegalkan di negara itu.
Di tempat judi tersebut tak sedikit warga keturunan Jawa yang bertaruh
memperebutkan ”endog blorok” alias jackpot.
Sekalipun
Purwodadi banyak berubah, kondisi rumah Salimin hampir tak mengalami perubahan
yang berarti. Sebagian dindingnya masih tetap memakai papan kayu (seperti
rumah-rumah transmigrasi di Indonesia dulu), sebagian lainnya bertembok batako.
Begitu pula atapnya, tetap memakai seng.
Yang
berubah, kini rumah Salimin tampak sepi. Tak ada lagi anaknya yang tinggal
serumah dengan dia. Rumah dengan ukuran sekitar 20 x 20 meter itu sekarang
hanya ditinggali Salimin bersama istrinya, Roosmi Tambeng.
”Sakmeniko
lare-lare sampun gadah griya piyambak-piyambak. Sampun urip dewe-dewe (Sekarang
anak anak sudah punya rumah sendiri-sendiri. Sudah hidup sendiri-sendiri),”
ujar presenter kondang itu.
Sembilan
tahun silam, ketika Jawa Pos melakukan liputan suasana Ramadan dan Lebaran di
Suriname, rumah Salimin masih ”didomplengi” dua anak terakhirnya. Yakni, Argyll
Legiran (lahir pada weton Legi) dan Sabrina Tracey Leginie (juga weton Legi).
Kini keduanya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri bersama suami atau
istri dan anak-anaknya.
Argyll
yang beristri Puji Lestari, perempuan asal Nglipar, Gunungkidul, Jogjakarta,
menempati rumah di Jalan Poerworedjo (Poerworedjoweg), sekitar 200 meter dari
rumah bapaknya. Pegawai rumah pemotongan hewan (RPH) itu kini sedang menunggu
kelahiran anak keduanya. Lalu, Sabrina sedang membangun rumah di pojok
perempatan Jalan Soekoredjo dan Jalan Poerwodadi, sekitar 100 meter dari rumah
Salimin. Sabrina yang bersuami Paris Partorejo dikaruniai tiga anak yang masih
kecil-kecil.
Rumah
Sabrina belum selesai. Padahal, sudah habis SRD 115 ribu (sekitar Rp 460
juta),” tutur Salimin yang pernah tampil bersama Kabaret Does di Festival Cak
Durasim, Surabaya, pada 2007.
Begitu
pula dua anak Salimin yang lain. Si sulung Harvey Ponirin (lahir Pon) bersama
istri Soraya Karyo Sentono dan dua gadis ABG-nya tinggal di sebelah rumah orang
tuanya. Lalu, anak nomor dua Migalda Warinie (lahir Wage) bersama suami Frenky
Rabidin dan dua anaknya yang menginjak dewasa tinggal di Dekraneweg, sekitar 1
kilometer dari rumah bapaknya.
”Ibarate,
tugas kulo sakniki sampun rampung. Lare-lare sampun mentas sedaya, sampun gadah
tanggung jawab nguripi rayate piyambak-piyambak (Ibaratnya, tugas saya sudah
selesai. Anak-anak sudah berkeluarga semua, sudah punya tanggung jawab
menghidupi keluarganya masing-masing),” jelas kakek delapan cucu yang fasih
berbahasa Jawa kromo (halus) itu.
Hampir
seluruh anak dan menantu Salimin keluar rumah untuk bekerja. Mereka umumnya
tipe pekerja keras. Baik menjadi pegawai negeri maupun pegawai swasta. Tak
heran, hidup mereka kini berkecukupan.
Meski
tidak bisa dibilang mewah, fasilitas di rumah anak-anak Salimin cukup lengkap.
Mau apa saja ada. Bahkan, setiap rumah itu memiliki minimal dua mobil.
Biasanya, satu mobil untuk bekerja di kantor, satu mobil lainnya untuk
keperluan keluarga.
”Nang
kene nek pingin urip kepenak ya kudu gelem kerjo rekoso. Ora iso males-malesan
(Di sini kalau mau hidup enak ya harus bekerja keras. Tidak bisa
malas-malasan),” tutur Harvey Ponirin yang bekerja di perusahaan minyak SOL.
Meski
empat anaknya sudah mentas, Salimin tetap tak mau tinggal diam. Di usianya yang
terbilang sudah sepuh, dia sampai sekarang masih tetap aktif bekerja sebagai
penyiar TV Garuda milik pengusaha Jawa. Profesinya itu sekaligus dimaksudkan
untuk ikut melestarikan budaya dan bahasa Jawa yang makin lama makin
ditinggalkan warga keturunan Jawa.
”Budaya
Jawa itu budaya kita sendiri. Jadi, kalau di antara kita tidak ada yang mau
cawe-cawe nguri-uri (melestarikan), saya khawatir tak lama lagi warisan nenek
moyang itu akan punah dari Suriname,” tandas pensiunan pegawai kantor
kementerian kesosialan dan perumahan tersebut.
Bukan
hanya teori, Salimin mempraktikkannya di dalam kehidupan keseharian keluarga
besarnya. Misalnya, dalam berkomunikasi dengan anak-anak dan istrinya. Dia
tetap memakai bahasa Jawa yang kental, selain dengan bahasa nasional Belanda
dan bahasa pergaulan Taki-Taki.
”Supoyo
basa Jawa ora ilang. Nek basa Jawa ilang, berarti wong Jawa ugi ilang (Agar
bahasa Jawa tidak hilang. Kalau bahasa Jawa hilang, maka orang Jawa juga
hilang,” tegas dia. Laporan Arief Santosa , Suriname