Seorang perajin tempe di Lamongan sedang
merapikan kedelai dalam cetakan tempe, Kamis (3/9/2015).
LAMONGAN – Para perajin tempe tradisional di
Lamongan kian resah dan sudah dua kali mengecilkan ukuran produk karena semakin
mahalnya harga kedelai.
Selain ini para pengusaha menyiasatinya
dengan mencampur kedelai impor kedelai lokal.
Cara inilah yang terpaksa dilakukan agar
usaha mereka tetap bertahan dengan harga tetap.
Perajin tempe tidak berani mencampur dengan
jagung atau bahan lain, lantaran takut pelanggannya kabur.
”Lebih baik mengecilkan ukuran dan mencampur
dengan kedelai lokal,”ungkap Rodiya, perajin tempe Desa Plaosan Kecamatan
Babat, Kamis (3/9/2015).
Diungkapkan, seperti tempe yang ukuran semula
panjang 10 sentimeter, kini dikurangi tinggal 8 sentimer dengan tebal 4
sentimeter dari sebelumnya 6 sentimeter.
Rekayasa mengecilkan ukuran dirasa Rodiyah
dan sesama pengrajin tempe lainnya, adalah sebuah langkah terakhir.
Pemerintah realitanya tidak mampu menurunkan
harga kedelai impor, meski hampir setiap pemberitaan baik di TV maupun di media
cetak soal derita pengrajin tempe akibat tingginya harga kedelai muncul.
“Yang ada hanya janji – janji tok,” katanya.
Saat ini harga kedelai impor di Lamongan
mencapai Rp 7.150 perkilogram dari sebelumnya Rp 5.700 perkilogram.
Perajin tempe tidak memahami gejolak
anjloknya rupiah, yang penting bagaimana pemerintah bisa mengatasi ini semua.
Tak hanya ukuran, bobot tempe dalam cetakan
pun dikurangi antara 3-4 ons.
"Kami bisa bangkrut kalau pemerintah
tidak segera turun tangan mengatasi mahalnya harga kedelai ini," katanya
SUMBER: SURYA.CO.ID