Ketua KPK, Agus Rahardjo (ANTARA
FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, Peneliti Indonesia Legal Roundtable
(ILR), Erwin Natosmal Oemar mengatakan, masih ada dua pasal penting yang luput
diekspose oleh media terkait revisi undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
"Pertama, hukum acara KPK yang ditarik
menjadi generalis menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Padahal dia UU lex specialist dalam hukum acaranya," kata Erwin dalam
diskusi soal revisi UU KPK di Jakarta, Rabu, 17 Februari 2016.
Ia mempertanyakan kenapa hukum acara KPK
harus mengikuti KUHAP. Padahal, kalau mengikuti UU KPK saat ini maka dalam
prosesnya tak perlu lama-lama ke penuntutan. Tapi penyidik dan penuntut sudah
sepaket. "Logika KUHAP tidak bisa disamakan dengan KPK," kata Erwin.
Kedua, dalam revisi UU KPK dimasukkan poin
KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka harus meminta rekomendasi dari
Dewan Pengawas. Menurutnya ini tak masuk akal. "Ini berpotensi memiliki
daya rusak bagi KPK," katanya menambahkan.
Sebelumnya, muncul wacana untuk merevisi UU
KPK. Poin yang ingin dimasukkan di antaranya terkait penambahan mekanisme SP3
pada KPK, membentuk Dewan Pengawas, dan izin penyadapan. Wacana ini menimbulkan
polemik lantaran dituding berpotensi melemahkan KPK.
(mus), Daurina Lestari, Lilis Khalisotussurur
SUMBER: VIVA.co.id