Tokoh Kalijodo Daeng Azis saat mendatangi
Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2). Daeng ke Komnas HAM bermaksud
mengadukan rencana relokasi red light district Kalijodo oleh Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Liputan6.com/Faizal Fanani)
Jakarta - Kalijodo sudah melegenda di tanah
Betawi. Sejak zaman dulu, kawasan Kalijodo dikenal sebagai tempat mencari
hiburan.
Kalijodo yang terletak di Penjaringan,
Jakarta Utara yang dulu bernama Kali Angke, di masa lalu kerap menjadi lokasi
perayaan Pesta Air alias Peh Cun. Tradisi Tionghoa yang digelar setiap 100 hari
usai Imlek, yang menjadi tempat berkumpul dan bertemunya para muda-mudi.
Bahkan kisah Kalijodo pernah diangkat dalam
film Ca Bau Kan, buah karya novelis Remy Silado. Sayang, sejak 1970-an, wajah
Kalijodo semakin buram dan lebih lekat sebagai kawasan prostitusi.
Beberapa kali kawasan ini disebut-sebut akan
digusur, namun Kalijodo tetap berdiri. Belakangan, dengan alasan berada di
jalur hijau, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memastikan akan segera
mengubah wajah Kalijodo menjadi taman.
Aktivitas warga di Kawasan Kalijodo, Jakarta,
Selasa (16/2). Dibalik gemerlapnya malam kalijodo menyimpan secerca harapan
warga yang mencari pekerjaan halal dan dapat menaikkan derajat mereka.
(Liputan6.com/Gempur M Surya)
Namun, rencana Gubernur Basuki atau Ahok,
tampaknya akan menemui jalan terjal. Pasalnya, warga kawasan Kalijodo menentang
penertiban itu. Melalui pengacaranya, Razman Arif Nasution, warga Kalijodo
mengecam tindakan sosialisasi dan penempelan pemberitahuan penertiban oleh Ahok
yang dinilai tidak manusiawi. Sebab, sosialisasi itu mengikutsertakan ratusan
polisi bersenjata laras panjang.
"Warga Kalijodo ada yang langsung kena
serangan jantung, satu orang terpaksa dirawat di rumah sakit," ujar Razman
Arif Nasution, di Kalijodo, Selasa (16/2/2016). Menurut dia, tindakan Ahok
menunjukkan sikap represif dan sentimen yang tinggi pada rakyat miskin.
Dia tak menampik jika Kalijodo adalah kawasan
prostitusi. Namun, dia mempertanyakan keberpihakan Ahok. "Ada 'jajan'
menengah ke bawah, ada 'jajan' menengah ke atas bos! Kalau mau tertibin
prostitusi, ya tertibin juga dong tempat 'jajan' kelas menengah atas,"
tantang Arif yang disambut teriakan warga.
Pentolan Kalijodo, Abdul Azis yang akrab
disapa Daeng Aziz, bahkan mengultimatum Ahok. Dia mengancam Ahok agar tak lagi
mengusik ketenangan warga Kalijodo. Tindakan Ahok yang mengirim ratusan polisi
dan TNI dalam sosialisasi dianggai sebagai penyalahgunaan wewenang.
Ahok Musuh Bersama
Tokoh Kalijodo Daeng Azis berjalan saat
Sosialisasi Relokasi warga kalijodo Kecamatan Tamboradi, Jakarta, Selasa
(16/2). Kawasan Kalijodo akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan tawaran
bagi warga untuk beralih profesi. (Liputan6.com/Gempur M Surya)
Bertopi koboi dan kemeja lengan panjang
berwarna abu-abu dengan celana panjang warna senada, Daeng Aziz mengatakan,
tudingan Ahok pada warga Kalijodo yang menduduki tanah negara tidak beralasan.
Sebab, beberapa warga memiliki sertifikat tanah resmi.
Ia bahkan menyatakan Ahok sebagai musuh
bersama. Dia juga mengajak para korban penggusuran Ahok untuk menuntut
keadilan. "Yang punya kewenangan adalah, musuh bersama," ucap Daeng.
Daeng Aziz memperingatkan Ahok bahwa ia
hampir kehilangan kesabaran. "Pada prinsipnya, jangan saya dipaksakan
untuk melawan," kecam Daeng yang disambut teriakan "lawan, tolak
penggusuran," oleh warga.
Daeng Azis disebut-sebut sebagai pemimpin
salah satu kelompok di Kalijodo. Dia memiliki seratusan anak buah. Tugas mereka
adalah mengamankan Kalijodo dan memastikan roda bisnis di tempat itu terus
berputar.
Pada 2001, saat terjadi bentrok antaretnis di
Kalijodo, Azis disebut-sebut sebagai orang yang menodongkan pistol ke arah
Komisaris Besar Krishna Murti, Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda
Metro Jaya. Krisna saat itu bertugas sebagai Kapolsek Penjaringan dan
menyandang pangkat Ajun Komisaris Besar.
"Jangan ada yang mendekat!"
tulis Krishna menirukan gertakan Daeng Azis, dalam bukunya berjudul Geger
Kalijodo. Buku karya Krishna tersebut menceritakan pola penyelesaian konflik
antaretnis yang terjadi di kawasan perjudian dan prostitusi kala itu. Krishna
menyebut Daeng Azis dalam karya ilmiahnya itu dengan nama si Bedul.
Dalam buku itu diceritakan saat Krishna
berada tidak jauh dari lokasi tergeletaknya jasad yang merupakan adik Daeng
Azis, Udin. Tiba-tiba saja Krishna mendengar 2 kali letusan.
Dia mengira letusan tersebut berasal dari
pistol anak buahnya. Setelah dilihat ternyata Daeng Azis-lah yang menarik
pelatuk pistol tersebut. Krishna meminta dia menyerahkan pistol tersebut namun
malah berbalas gertakan.
Saat laras pistol Daeng Azis mengarah ke
Krishna, suasana seketika tegang. "Jika pelatuk itu ditarik tamat juga
riwayat saya. Kalau pun melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat
menarik pelatuk," cerita Krishna.
"Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak
saya, saya mati tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan
negara. Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis," ujar Krishna
menatap tajam Daeng Azis.
Dikonfirmasi terpisah, Komisaris Krishna
Murti membenarkan bahwa si Bedul adalah Daeng Azis. "Iya, si Bedul itu
Daeng Azis, pernah saya tahan karena kasus kepemilikan senjata api,"
cerita Krishna kepada Liputan6.com.
Daeng Azis saat itu dikenal sebagai orang
yang memiliki lapak judi dan kafe. "Dia sudah buka lama, puluhan
tahun," ujar perwira menengah yang pernah bertugas di Markas Besar PBB
ini. Saat itu pula, dia dan jajarannya bergerak cepat meringkus 290 preman dan
penjudi yang biasa mangkal di Kalijodo.
"Sudah habis preman-preman itu zaman
saya, sudah rata," kata Krishna.
Negara Tidak Diatur Preman
Daeng Azis keluar dari mobil mewahnya saat
mendatangi Komnas HAM, Jakarta, Senin (15/2). Daeng ke Komnas HAM bermaksud
mengadukan rencana relokasi red light district Kalijodo oleh Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Liputan6.com/Faizal Fanani)
Memang tidak mudah mengurusi kawasan prostitusi
yang sudah berdiri sejak 1930-an itu. Ditambah lagi gap antarkelompok yang
kerap berseteru dalam persaingan bisnis panas mereka.
"Gerak cepat diperlukan sebelum
masalahnya berkembang terlalu jauh. Kami seakan berkejaran dengan waktu, dalam
situasi yang panas oleh konflik. Isu dan rumors biasanya berdesingan secepat
peluru," ujar Krishna.
Salah satu sesepuh Kalijodo yang juga
pensiunan tentara, membenarkan sosok Bedul Adalah Daeng Aziz dalam buku yang
ditulis Krishna. "Ya itu dia, saat itu saya juga di sana," kata
Kunarso saat berbincang dengan Liputan6.com.
Menurut Kunarso, di kalangan masyarakat
Kalijodo, khususnya di 'kawasan bisnis'-nya, Azis dikenal sebagai tokoh. Dia
juga dikenal sebagai pengusaha yang memiliki banyak orang bergantung pada dia.
"Dia pengusaha bir," kata Kunarso.
Beberapa hari lalu, Daeng Azis, mendatangi
kantor Komnas HAM dan DPRD DKI Jakarta untuk mengadukan rencana Pemprov DKI
Jakarta menggusur lokasi prostitusi dan perjudian Kalijodo.
Terkait perseteruan Ahok dan Daeng Aziz,
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Pemerintah DKI menampung aspirasi warga,
namun tidak menghambat penertiban.
"Ya tentu punya aspirasi dan paling
penting jalankan hukum dengan baik, dengan tertib. Bukan soal dengan siapa,
tetap pemerintah harus menjalankan hukum dengan baik," JK menegaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan memberikan ancaman pada Daeng Aziz
agar tidak membuat ulah.
"Negara ini tidak diatur oleh preman,
berkali-kali saya bilang. Ingat itu," ucap Luhut di Kantor Wakil Presiden,
Jakarta, Selasa.
Dia pun meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan penertiban sesuai dengan aturan yang
berlaku. Kalijodo akan ditertibkan karena daerah itu termasuk sebagai jalur
hijau.
Ahok sendiri menyebut masalah Kalijodo
berbeda dengan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara, mapun Dolly di
Surabaya.
"Beda, kalau di Surabaya masyarakat yang
kuasai tanah. Di Kramat Tunggak juga sama," ucap Ahok di Balai Kota
Jakarta. Sementara di Kalijodo, Ahok tidak hanya mempersoalkan bisnis
prostitusi yang tumbuh subur selama bertahun-tahun, tapi ia ingin membongkar
Kalijodo karena berada di jalur hijau.
"Kalau Kalijodo itu beda. Itu tanah
jalur hijau didudukin. Saya nggak persoalkan prostitusi. Saya mau beresin jalur
hijau," kata Ahok.
Untuk mengatasi masalah Pekerja Seks
Komersial (PSK) yang akan kehilangan mata pencaharian dengan ditutupnya
Kalijodo, Ahok menawarkan mereka bekerja sebagai petugas Penanganan Prasarana
dan Sarana Umum (PPSU) untuk Pemprov DKI Jakarta. "Sekarang mau kerja apa?
Kerja PPSU mau nggak? Mana mau kerja yang capek lu," ucap Ahok. By Andry
Haryanto
SUMBER: Liputan6.com.