Penambangan pasir liar di
sepanjang garis pantai selatan Lumajang. Foto: Gunawan Sutanto/Jawa Pos
JAKARTA - Abdul Hamid, rekan
seperjuangan Salim Kancil dan Tosan, mengungkapkan, selama ini penambangan
pasir liar di sepanjang garis pantai selatan Lumajang bermodus sama. Yakni,
melibatkan aparat desa.
Kepala desa biasanya membuka
tambang ilegal dengan memungut setiap truk yang mengangkut pasir. Besar
pungutan bervariasi, antara Rp 200 ribu-Rp 300 ribu.
Menurut Hamid, untuk
mengesahkan tindakan tersebut, biasanya Kades membuat peraturan desa. Hal itu
tidak hanya terjadi di Desa Selok Awar-Awar, tapi juga di Gondoruso, Bades,
Bagu, dan Selok Anyar yang masuk wilayah Pasirian. Begitu pula di Pandan Arum
dan Pandan Wangi yang berada di Tempeh.
"Sebenarnya sejak 2012
masyarakat di sekitar pesisir pantai selatan Lumajang resah dengan adanya izin
usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan bupati lama (Sjahrazad Masdar),"
ujar Hamid.
Sejak adanya IUP itu,
kegiatan pertambangan pasir di pesisir pantai selatan Lumajang makin menggila.
Warga sampai susah membedakan mana tambang yang berizin dan mana yang tidak.
Mereka akhirnya menganggap semua kegiatan pertambangan ilegal. Sebab, tidak
pernah sekali pun mereka diajak berbicara oleh perusahaan yang terlibat.
Menurut Hamid, warga
antitambang sebenarnya sudah pernah mengadu ke wakil rakyat mereka yang duduk
di DPRD Lumajang. Namun, tanggapannya sangat prosedural: warga diminta membuat
surat resmi.