Ilustrasi/BuanaPost
Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau suatu hari akan merasakan yang namanya jadi wartawan. Sedikitpun tidak pernah terpikirkan apalagi menginginkan.
Magang kali ini beneran surprised ya buat saya. Memasuki minggu kedua magang, udah banyak pengalaman baru yang saya rasakan suka dukanya jadi wartawan.
Walaupun saya cuma ditugaskan di rubrik, tapi tetap saja yang harus saya tulis adalah berita. Berita yang dibikin berdasarkan tema (bukan berdasarkan peristiwa seperti berita-berita kriminal, olahraga, ataupun politik), tetap harus berdasarkan fakta dan realita yang ada.
Jujur saja saya mengalami kesulitan dalam menulis berita yang sesungguhnya.
Di beberapa mata kuliah komunikasi massa, memang pernah diberi tugas menulis berita. Namun bukan berita yang berasal langsung dari narasumber, bukan dari data primer, begitu istilahnya. Dosen biasanya hanya meminta mahasiswa menulis berita dari data sekunder (dari informasi yang sudah ada, boleh dari televisi, koran ataupun internet).
Pengalaman pertama mencari narasumber membuat saya bingung setengah mampus. Dan kesalahan yang sangat saya sadari adalah saya lebih bingung mencari narasumber daripada membuat list pertanyaan yang akan ditanyakan ketika wawancara.
Gimana tidak bingung nyari narasumber coba bayangkan? Koran yang terbitnya setiap hari membuat kita harus memperoleh berita dengan cepat. Mulai dari mencari tema, membuat list pertanyaan wawancara, menentukan narasumber, hingga akhirnya mengolah informasi yang sudah didapat menjadi satu berita untuh yang siap disetorkan kepada editor.
Semuanya harus berjalan tek, tek, tek, cepat dan tanpa celah. Waktu benar-benar sangat berharga disini.
Ketika wartawan dikejar waktu, narasumber yang dibutuhkan kadang tidak bisa dengan mudah diwawancarai begitu saja. Wartawan harus membuat appointment dulu dengan narasumber yang ingin diwawancara. Wartawan harus menunggu sampai narasumber memiliki waktu kosong untuk diwawancara.
Lagi-lagi masalah waktu. Ketika wartawan terus-terusan dikejar deadline, ia masih harus dipaksa untuk menunggu. Dan ini menurut saya sangat menyedihkan
Belum lagi narasumber yang digunakan biasanya memang harus kompeten, biasanya orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu. And we know that mereka para ahli atau orang-orang penting itu pasti sibuknya tidak ketulungan.
Ada banyak hal yang saya pelajari selama jadi wartawan. Wartawan itu harus banyak nanya, harus ramah, harus inisiatif ngajak ngobrol orang-orang baru, hal-hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya.
Saya yang orangnya cukup pendiam, apalagi kalau sama orang yang baru dikenal, dituntut untuk cerewet dan pasang senyum pepsodent tiap kali ketemu narasumber.
Lebih sedih lagi kalau ketemu narasumber yang sepertinya enggan memberikan informasi atau bahkan keberatan diwawancarai.
Ciri-cirinya orang yang enggan ngasih informasi atau kurang excited sama apa yang kita tanyakan adalah ketika dia ngasih jawaban pendek-pendek. Cuma sekadar bilang “iya” / “enggak” / “nggak tau” / “duh apa ya” dan sejenisnya. Sumpah orang-orang kayak gini bikin kesel.
Kalau orang yang keberatan dijadikan narasumber biasanya bakal ngomong langsung. Dan kami para wartawan memang kudu membujuk dan merayu si narasumber bagaimana caranya supaya bersedia.
Kesannya maksa ya? Padahal narasumber itu tidak boleh dipaksa. Tapi bagaimana lagi, kami para wartawan butuh narasumber, kami harus nulis berita. Kalau wartawan magang seperti saya, bebannya kan ada pada laporan magang yang harus saya tulis nanti. Tapi kalau wartawan yang memang dia kerja, tuntutannya ya ada pada tempat ia bekerja yang merupakan sumber penghasilan.
Jadi wartawan itu susah. Ngejar peristiwa satu ke peristiwa lainnya. Ngejar narasumber satu ke narasumber lainnya. Liputan dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Deadline ngumpulin berita yang tidak pernah ada habisnya. Kita seperti selalu dikejar waktu. Dan 24 jam dalam sehari itu rasanya tidak pernah cukup.
Jadi wartawan itu susah. Bertemu dengan orang-orang yang kadang tidak welcome. Judes, jutek, bahkan ada yang marah-marah. Dengan ketidak hangatan orang-orang tersebut, kita dituntut untuk harus tetap ramah cuma supaya tetap dapat informasi. Percayalah, tersenyum untuk orang-orang yang meremehkanmu itu sangat tidak menyenangkan.
Jadi wartawan itu susah. Dengan pengorbanan yang sudah dikeluarkan baik dari tenaga dan pikiran, apresiasi yang didapatkan itu tidak seberapa. Apalagi kalau dilihat dari segi materi. Berapa sih gaji wartawan? Sekarang coba dipikir, hari ini jungkir balik tiap hari buat nyari berita, dan besok beritanya dimuat di koran. Koran yang dijual dengan harga Rp3000.- s/d Rp5000,- Itu belum dipotong buat keuntungan agen atau loper korannya.
Berapa ekslempar koran yang laku setiap hari? Kalau dilihat dari jaman sekarang yang semuanya sudah serba digital, laku 100 exelempar saja sudah syukur alhamdulillah banget. Saya tidak tahu, jaman sekarang apa masih ada orang yang berlangganan media cetak (koran, tabloid dan majalah-red)? Apa masih ada orang yang mau beli, sembari menunggu lampu merah berubah menjadi hijau?
Tadi siang saya mampir dilapak penjual koran depan apotik Buana Gading di kawasan elit Kelapa Gading Jakarta. Saya ingin mengambil koran yang saya pesan kemarin sore. Jam sudah menunjukkan angka 12.15 Wib siang, saya lihat koran yang tergantung masih banyak. Tidak berapa lama, bapak penjual koran muncul membawa koran pesanan saya “Berapa pak?”, tanya saya kepada penjual koran. “Seribu ” jawab si penjual koran,
“Ha?” saya cengang, saya bukannya tidak dengar angka nominal yang bapak penjual koran sebutkan. Saya cuma mau memastikan kalau saya tidak salah dengar.
“Seribu rupiah saja” kata si bapak penjual koran lembut suaranya.
Ternyata benar saya tidak salah dengar. Tarif parkir mobil saja Rp5ribu/jam tenyata lebih mahal daripada harga sebuah koran. Coba bayangkan dan resapi, buat nyari beritanya saja seorang wartawan beserta jajarannya seperti editor beserta layout di perusahaan penerbitan pers media cetak (surat kabar, tabloid dan majalah-red) bekerja sering lembur di kantor semalaman, kalau masuk angin ya dikerokin istri dirumah pake uang logaman.
Jadi wartawan itu tidak enak, karena tidak ada hari liburnya. Every day is work day. Kalau wartawannya libur, besok mau nerbitin apa? Iya kalau misalnya koran terbit seminggu sekali sih enak ya.
Tapi jadi wartawan itu juga ada enaknya kok.
Wartawan itu biasanya pintar dan punya wawasan yang luas. Bagaimana tidak pintar kalau kerjanya nanya melulu? Pengetahuan dan informasi apa saja masuk tiap hari ke otak, bagaimana bikin tidak tambah pintar coba?
Redaktur pelaksana tempat saya bekerja juga pintar. Kelihatan kalau orangnya yang kritis. Tanyakan apa saja yang ingin kamu tahu, pasti beliau bisa jawab.
Jadi wartawan itu enak karena punya banyak pengalaman. Ketemu orang-orang dengan berbagai karakter, mulai dari pemulung, sopir angkot sampai orang berpangkat jenderal bintang ampat, pejabat bahkan penjahatpun ada, ya penjahat ekonomi (korupsi) penjahat perang dan juga jelajah ber-langlangbuana ke tempat-tempat elit sampai ke tempat kumuh (blusukkan) istilah kerennya sekarang.
Jadi wartawan itu enak karena pasti punya banyak kenalan dan relasi. Link tersebar luas di mana-mana.
Temen saya yang anak Pers Kampus dulu pernah bilang, “Kalau mau jadi orang kaya, jangan jadi wartawan”. Ya, saya sangat setuju sekali sama pernyataan tersebut.
Jadi wartawan memang tidak bikin kita jadi orang kaya dari segi materi, akan tetapi yang bikin kita kaya dari segi wawasan dan pengalaman saja. (BP)