Senin, 19 Januari 2015 , 06:00:00
SURABAYA – Turunnya harga BBM,
elpiji 12 kg, dan semen diprediksi mampu menekan laju inflasi bulanan atau month-to-month
(mtm) di Jatim. Inflasi Januari diperkirakan 0,1 persen berdasar angka
rata-rata mtm Januari setiap tahun.
Angka rata-rata inflasi itu mencapai sekitar 0,6
persen. Namun, karena kenaikan harga BBM pada 18 November 2014, sasaran inflasi
naik 0,9 persen. Setelah harga BBM turun dua kali selama Januari 2015, sasaran
inflasi diperkirakan turun signifikan.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah
IV Soekowardojo menjelaskan, setiap penurunan harga BBM 10 persen, inflasi
tertekan 0,4 persen. Lantaran harga BBM sudah turun dua kali, angka 0,4 persen
itu dikalikan dua. Sasaran 0,9 persen tersebut lantas berkurang 0,8 persen
menjadi 0,1 persen. ’’Kira-kira sasarannya segitu untuk Januari
2015,’’’ kata dia.
Inflasi mtm Desember 2014 cukup tinggi, yakni
2,38 persen. Angka itu terutama dipengaruhi kenaikan harga BBM, ditambah
ekspektasi konsumsi yang tinggi menjelang perayaan hari besar seperti Natal,
tahun baru, dan Maulid Nabi.
Saat harga BBM turun seperti sekarang,
harga-harga komponen volatile food memberikan sumbangan cukup besar
dalam total hitungan inflasi. Sebab, rigiditas penentuan harga dari pelaku
industri jauh berbeda bila dibandingkan dengan saat harga BBM naik.
’’Kalau volatile food mungkin tidak
hanya mahal karena harganya tidak turun, tapi juga karena faktor cuaca yang
memengaruhi proses produksi dan distribusi beberapa komoditas. Tapi, karena
tingkat konsumsinya sudah kembali normal, bisa dibilang rupiah yang
terdepresiasi juga menentukan,’’ papar Soeko.
Komponen administered price justru
berpotensi deflasi. Meski tarif cukai rokok sempat naik 10 persen, potensi
deflasi masih dapat diperhitungkan. Potensi itu bisa berkisar 0,2–0,5 persen.
Sebab, BBM turun pada periode yang sama dengan elpiji dan semen. Apalagi
kenaikan TDL (tarif dasar listrik) ditunda.
Kepada Jawa Pos, Soeko memaparkan bahwa
setiap penurunan harga LPG 3 persen mampu menekan inflasi 0,06 persen. ’’Itu
LPG. Kalau semen, BI sebetulnya belum menganggap harganya turun karena yang
turun (harganya) hanya merek tertentu. Jadi, efeknya belum signifikan,’’ kata
dia.
Menurut Soeko, penekanan inflasi akan lebih baik
jika dibarengi penurunan harga barang. Salah satu yang bisa dilakukan adalah
menjalin koordinasi yang baik soal penentuan tarif angkutan umum. Selama ini
penentuan tarif angkutan umum oleh pemerintah adalah hasil koordinasi dengan
Organda.
’’Harus ada sistem. Kalau harga BBM naik,
penentuan tarifnya bagaimana? Kalau turun, sistemnya bagaimana? Sebab, sekarang
belum ada sistem yang pasti mengenai penentuan tarif angkutan ketika harga BBM
turun,’’ ungkap dia.
Efek penurunan harga BBM, elpiji, dan semen belum
dapat dirasakan bulan ini. Sebab, alihan dana subsidi ke sektor produktif masih
harus menunggu koordinasi dengan pemerintah pusat.
’’Soal potensi melonggarnya ruang fiskal, ya
harus dilihat dulu penerapan alokasi pengalihan subsidinya. Daerah tentu
bergantung saluran dana dari APBN. Jadi, masalah infrastruktur di daerah
bagaimana, bergantung pada komitmen pemerintah,’’ jelas Soeko.
Ekonom Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika
menyatakan, kebebasan ruang fiskal belum bisa dirasakan lantaran harga minyak
dunia masih fluktuatif. Terkait dengan penekanan inflasi, harga beberapa
komoditas dan tarif angkutan sulit diturunkan.
’’Pemerintah tidak punya kemampuan cukup untuk
menekan harga. Ini juga masalah karakter pelaku industri. Tapi, imbauan
pemerintah kepada pelaku industri untuk menekan harga patut dihargai,’’ tandas
Erani. (rin/c14/oki