Sekarang ini, fashion atau mode semakin
berkembang. Mode yang terkenal di tanah air kita bukan hanya pakaian atau kain
saja, tetapi ada juga topi-topi tradisional khas yang menjadi kebanggaan dari
masing-masing daerah di Indonesia. Selain blangkon atau peci yang paling
terkenal, masih ada banyak topi-topi khas daerah lain yang unik.
Topi bukan lagi hanya sebagai pelindung
kepala atau rambut dari paparan sinar matahari. Namun, sekarang banyak
masyarakat Indonesia yang memakai topi untuk gaya maupun untuk acara adat
tertentu sebagai bukti kebanggaan akan budaya daerah yang tak ternilai harganya.
Berikut ini gan beberapa topi tradisional yang ada di Indonesia:
1. Peci
Peci memang paling sering kita jumpai di
mana-mana. Selepas solat Jumat, pasti banyak kaum Muslim yang mengenakan peci
keluar dari masjid. Berasal dari kata Belanda, yaitu ‘petje’, memiliki arti
topi kecil dan sangat erat kaitannya dengan budaya Melayu. Topi ini berbentuk
oval dan dulu dominan berwarna hitam, baru akhir-akhir ini peci tersedia dalam
beragam warna maupun motif dengan bahan katun atau beludru.
Nama lain dari peci adalah songkok atau
kopiah, dan selain di Indonesia, peci juga dikenakan oleh kebanyakan kaum
Muslim pria di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan
Thailand Selatan. Di Indonesia, pemakaian peci juga menyimbolkan rasa
nasionalis terhadap tanah air.
2. Blangkon
Blangkon biasanya terbuat dari batik.
Keunikannya terletak pada mondolan yang ada di belakangnya, yang melambangkan
sifat masyarakat Jawa yang pandai menyimpan rahasia dan sopan dalam bertutur.
Ada 4 macam jenis blankon berdasarkan bentuk dan asalnya, yakni blangkon
Ngayogyakarta, blangkon Surakarta, blangkon Kedu, dan blangkon Banyumasan.
Menurut masyarakat Jawa kuno, blangkon
dipercaya berasal dari cerita legenda Aji Saka. Dalam cerita itu Aji Saka
mengalahkan Dewata Cengkar, raksasa yang memiliki tanah Jawa, dengan cara
menyebar penutup kepala raksasa yang bisa menutup seluruh tanah Jawa. Namun ada
juga teori yang mengatakan bahwa penggunaan blangkon merupakan pengaruh dari
kebudayaan Hindu dan Islam yang diserap oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Muslim
pertama yang memasuki Jawa berasal dari daratan Arab dan saudagar Gujarati.
Blangkon dipercaya berasal dari turban yang dikenakan oleh para saudagar
Gujarati.
3. Seraung
Seraung merupakan topi lebar yang terbuat
dari anyaman daun kering dan dihiasi kain bermotif atau manik-manik. Topi ini
identik sebagai topi petani karena banyak petani yang menggunakannya saat
bekerja di ladang. Bentuknya yang lebar mampu menutupi kepala dari teriknya
sinar matahari.
Topi ini merupakan topi khas suku Dayak.
Salah satu kelompok yang masih membuat dan memakai topi ini dalam kehidupan
sehari-hari adalah masyarakat Dayak Kenyah yang tinggal di Lekaq Kidau,
Kalimantan Timur. Mereka biasanya mengenakan seraung ketika beraktivitas di luar
rumah, terutama di hutan, dan juga saat upacara-upacara adat. Seraung sangat
melekat dengan kehidupan masyarakat Dayak, bahkan sampai ada satu tarian Dayak
yang bernama Tari Seraung , yang menggambarkan kekayaan seni dan budaya
masyarakat Dayak.
4. Tanjak
Semacam topi hiasan kepala yang terbuat dari
kain songket yang lazim dipakai oleh sultan dan pangeran, serta bangsawan
Kesultanan Melayu.
juga biasanya digunakan bersama dengan kain atau
sarung songket. Di Palembang, topi ini biasanya dipakai oleh keluarga pengantin
saat acara resepsi pernikahan atau juga sebagai pelengkap acara adat Palembang
yang biasanya digunakan oleh kaum pria Palembang.
5. Kupiah
Kupiah merupakan topi yang berasal dari
Pidie, Aceh ( dan dikenakan oleh kaum pria Aceh dalam kehidupan sehari-hari
maupun sebagai sebagai pelengkap busana adat Aceh dalam upacara adat tertentu,
seperti upacara pernikahan. Topi ini terbuat dari kain songket Aceh yang
disertai dengan pernak-pernik khas Aceh. Ada dua jenis kupiah , di antaranya:
Pada masa pemerintahan kerajaan di Aceh, topi
ini merupakan pakaian sehari-hari yang khusus dikenakan oleh raja dan ulama.
Topi ini sudah dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Pada masa pemerintahan kerajaan di Aceh, topi
ini menjadi pakaian sehari-hari kaum bangsawan dan rakyat biasa. Proses
pembuatannya butuh ketekunan dan waktu yang cukup lama, yakni sekitar 15 hari.
Topi ini merupakan bagian dari kelengkapan
berpakaian pria sehari-hari di pulau Jawa dan Bali. Di Sunda, topi ini dikenal
dengan sebutan ‘totopong’, sementara di Bali, topi ini lebih dikenal dengan
‘udeng’.
Di masa silam, penggunaan iket oleh pria
menjadi keharusan karena dipercaya bisa melindungi mereka dari roh-roh jahat,
selain untuk fungsi praktis seperti sebagai wadah/ pembungkus, selimut,
bantalan untuk mengangkut beban di kepala, dan lainnya. Sedangkan saat ini
fungsi iket lebih sebagai aksesoris dan upaya melestarikan budaya daerah.
7. Ti'i Langga
Kalau orang Meksiko punya sombrero, maka
orang Rote punya Ti’i Langga. Topi tradisional ini berasal dari Pulau Rote,
yaitu pulau terkecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Topi ini terbuat dari
daun lontar berbentuk melingkar dengan sebuah tanduk kecil yang berdiri tegak
di atasnya. Tanduk tersebut sering disebut dengan istilah ‘antena’ yang
mempunyai sembilan tingkat.
Jiwa kepemimpinan, kewibawaan, dan percaya
diri menjadi teladan yang terkandung dalam topi ini. Selain itu, ada arti
menarik di balik topi ini. Karena terbuat dari daun lontar kering dengan kadar
air yang tidak terukur dan semakin lama semakin mengering, topi ini pada
akhirnya akan berubah warna dari kuning muda menjadi cokelat, dan ‘antena’ yang
tadinya berdiri tegak akan menjadi miring serta sulit untuk ditegakkan kembali.
Hal ini menggambarkan karakter orang Rote yang tergolong sangat keras dengan
prinsip hidup yang kuat dan tanpa kompromi, jadi kalau sudah ‘miring’ akan
sangat sulit untuk dikendalikan seperti ‘antena’ Ti’i Langga yang sudah miring. (***)