Ternyata 38 kg emas yang
dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya
adalah sumbangan dari Teuku Markam , salah seorang saudagar Aceh yang pernah
menjadi orang terkaya Indonesia.
Orang-Orang hanya tahu bahwa
emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu,
bahwa Teuku Markamlah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya
Teuku Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut
membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olah raga terbesar Indonesia.
Tentu saja banyak bantuan-bantuan Teuku Markam lainnya yang pantas dicatat
dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan
Markam dalam sebuah legenda.
Di zaman Orba, karyanya yang
terbilang monumental adalah pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat.
Jalan Medan-Banda Aceh, Bireuen-Takengon, Meulaboh, Tapaktuan dan lain-lain
adalah karya lain dari Teuku Markam yang didanai oleh Bank Dunia. Sampai
sekarang pun, jalan-jalan itu tetap awet. Teuku Markam pernah memiliki sejumlah
kapal, dok kapal di Jakarta, Makassar, Medan, Palembang. Ia pun tercatat
sebagai eksportir pertama mobil Toyota Hardtop dari Jepang. Usaha lain adalah
mengimpor plat baja, besi beton sampai senjata untuk militer.
Mengingat peran yang begitu
besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Teuku Markam pernah
disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran
Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia
ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya
diambil alih begitu saja oleh Rezim Orba. Pernah mencoba bangkit sekeluar dari
penjara, tapi tidak sempat bertahan lama. Tahun 1985 ia meninggal dunia. Ahli
warisnya hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga
kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tidak pernah direhabilitir.
Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya upaya dan memanfaatkan
bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam
tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.
Siapakah Teuku
Markam ?
Teuku Markam turunan
uleebalang. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan
Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi
yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan
ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut
Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat).
Teuku Markam tumbuh lalu
menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh
sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan
Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara
bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan
lain-lain. Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai
lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon
dengan pasukan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung,
Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu
pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk
menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot
Soebroto meninggal dunia.
Adalah Gatot Soebroto pula
yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu
itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul
mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku
Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam.
Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena
"disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru
keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh
Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, Teuku
Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya
oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi.
Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset
berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar,
Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor -
impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari
Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas
persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.
Komitmen Teuku Markam adalah
mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta
pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.
Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta
mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional
(Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian
Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Peran Teuku Markam
menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat
bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah
satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan
sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik,
Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha
Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar
biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet
bayangan Soekarno.
Sejarah kemudian berbalik.
Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan
menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan
dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian
mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam
sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo,
lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln
Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir
dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede
Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot
Subroto selama kurang lebih dua tahun.
Peralihan kekuasaan dari
Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia
baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah
teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun
dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan
menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata
Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.
Soeharto selaku Ketua
Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam
berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari
yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman,
Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di
Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan
asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah
bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin
perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja,
dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro,
Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.
Pada tahun 1974, Soeharto
mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status
harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih
pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp
411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari.
Kepres itu terbit persis
pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.
Proyek Bank Dunia
Sekeluar dari penjara, tahun
1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia
untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari
proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa
Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh
antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan,
Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain.
Teuku Syauki menduga, Rezim
Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku
Syauki, proyek-proyek Markam "dianggap" angin lalu.
Teuku Markam meninggal tahun
1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya,
pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.