Batik Cirebon, Batik Indonesia
Objektika Simbolik yang ”meruang” dan ”mewaktu”
Oleh Jaeni B. Wastap
Batik merupakan salah satu artefak kultural yang mampu hidup dalam ruang dan waktu di segala zaman. Kehadiran batik Indonesia sebagai bagian dari produk kultural anak bangsa tak bisa disangkal bahwa ia adalah ikon lokal yang mengglobal. Melalui batik, tercermin karakteristik bangsa Indonesia yang santun, berbudaya, dan beradab.
Oleh karena itu batik dapat dipandang sebagai objektika simbolik yang meruang dan mewaktu, mampu mengaktualisasikan eksistensinya di sepanjang zaman.
Di daerah Cirebon, batik yang diproduksi oleh masyarakatnya memberikan image pada tegaknya legitimasi kultural keraton Kasultanan Cirebon. Eksotisme batik yang dimiliki masyarakat Cirebon memancarkan zaman keemasan istana sekalipun berbeda kenyataan dengan keberadaan keraton Kasultanan Cirebon saat ini.
Hal ini menunjukkan bahwa batik menjadi suatu objektika dan secara simbolik memiliki nilai-nilai historis dari suatu patron yang memiliki otoritas terhadap masyarakat lingkungannya. Batik Cirebon secara fisik merupakan kulit luar dengan sentuhan kreatifitas estetis yang di dalamnya memiliki makna-makna simbolik sebagai penegasan identitas masyarakatnya.
Batik (busana) menjadi media yang efektif untuk menunjukkan status, kedudukan, kekuasaan, persamaan gender, dan gaya hidup dari masa ke masa. Sebagaimana Wilson, seorang pakar Eropa yang menggeluti bidang objektika, mengatakan bahwa: "Busana (batik) merupakan perpanjangan dari tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh yang menghubungkan dengan dunia sosial sekaligus memisahkannya".
Hal tersebut mengindikasikan bahwa batik sebagai bagian dari bentuk representasi diri seseorang. Motif batik yang dikenakan seseorang akan mencerminkan nilai dan makna terhadap pemakainya sekaligus membedakannya dengan orang lain. Kees van Dijk mengidentifikasi busana sebagai proses interaksi yang kompleks dan dinamis meliputi peminjaman selektif, adaptasi timbal balik, penataan ulang makna, dan sekaligus penciptaan simbol-simbol masyarakatnya.
Dalam dimensi ruang dan waktu, batik akan memberikan kesan tersendiri terhadap pemakainya di setiap interaksi sosial, baik dalam keseharian maupun pada peristiwa-peristiwa tertentu misalnya menghadiri pesta, melakukan ritual keagamaan, menghadap pimpinan atau peristiwa lainnya. Representasi batik yang membalut tubuh kita ketika itu sebenarnya tengah merekonstruksi makna komunikasi dengan orang lain, dan termasuk dengan diri sendiri.
Dekonstruksi Gaya Hidup ”Aristokrasi”
Kini, batik bukan lagi sesuatu yang dianggap tradisional dan kuno bagi masyarakat bangsa Indonesia. Batik sudah menjadi lambang intelektualitas, melekat pada sosok birokrat, representasi kesantunan banyak masyarakat dalam melakukan interaksi sesamanya.
Batik Cirebon salah satunya telah menjadi busana resmi (dress code) setiap kalangan dalam berbagai aktifitas formal maupun formal, dari aktifitas kemasyarakatan hingga kenegaraan.
Itu semua merupakan upaya anak-anak bangsa dari mulai pengrajin batik tradisional di daerah-daerah maupun tingkat nasional. Perajin batik Cirebon yang terdiri dari masyarakat daerah Trusmi secara tidak langsung mengangkat eksistensi batik menjadi agung dan merupakan sesuatu yang tidak sebanding dengan materi yang mereka dapatkan.
Sementara Iwan Tirta salah satunya melalui desain dan pola serta ekperimentasi yang memadukan material baru dan mewah terhadap batik Indonesia menjadikan batik tidak dipandang sebagai busana yang ketinggalan zaman. Batik kembali menjadi bagian dari bentuk gaya hidup masyarakat aristokrasi modern. Akan tetapi hal itu tidak terbatas pada masyarakat kalangan atas karena masyarakat kalangan menengah ke bawah pun turut pula memakainya. Fenomena ini menunjukkan bagaimana batik mengangkat performance individu dan masyarakat dengan tidak membedakan status pada bentuk presentasi diri yang sesuai dengan nilainilai keindonesiaan.
Sebagai sebuah gaya hidup, busana batik mencerminkan hubungan antara produksi dan konsumsi, antara representasi ideologis dan interpretasi sosial, serta antara kekuatan simbolik dan kekuatan budaya. Hubungan-hubungan tersebut tampil pada busana batik Cirebon yang aristrokatis dan sudah mengalami dekonstruksi hingga memberikan perlawanan terhadap gaya hidup berbusana “pembaratan” yang hadir dalam lingkungan kita saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pencitraan “aristokrasi” dari batik terhadap individu menjadi filter atas produk budaya luar yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut masyarakat Indonesia. Dalam kaitan ini, “aristokrasi” harus dipandang sebagai bentuk persamaan tampilan bukan penyekatan-penyekatan dan perbedaan hierarkis level kehidupan.
Melalui dekonstruksi gaya hidup aristokrasi yang berkaitan dengan busanabatik menampilkan citra diri masyarakat secara simbolik. Busana batik yang dikenakan oleh setiap kalangan memberikan citra simbolik masyarakat demokratis yang memiliki persamaan hak politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dekonstruksi gaya hidup aristokratis tidak melulu menjadi milik kalangan atas yang penuh otoritas.
Busana sebagai gaya hidup tidak saja dipresentasikan masyarakat kota, namun masyarakat desa juga telah mempraktikkannya dengan duplikasi-duplikasi gaya yang diadopsi dari media. Representasi gaya hidup pada busana tergantung busana jenis apa, atau gaya apa yang dikenakan seseorang. Busana tidak saja merepresentasikan kalangan jetset, namun kalangan biasa-biasa, sederhana, dan bahkan nista. Semangat gaya hidup yang diungkapkan oleh bentuk busana bisa dari busana dalam, busana santai, busana olah raga, busana kantor, busana pesta, hingga gaun dan tuksedo khusus. Dari semangat tersebut tanpa disadari telah membentuk kasta-kasta berdasarkan busana mereka.
Multidimensi Simbolik Batik Cirebon
Secara simbolik batik memiliki dimensi sosial dan dimensi politik dari aturan berbusana di satu pihak dan keterlibatan individu di pihak lain. Terdapat cara dan sarana yang dilalui oleh para individu, kelompok sosial, dan institusi sosial untuk dapat saling memahami melalui busana batik. Sosok-sosok yang dibungkus dengan batik tak ubahnya menentukan kelompok-kelompok yang memiliki paham masing-masing. Belajar dari kasus-kasus setiap kelompok politik di Indonesia, motif batik yang dikenakan menjadi keberagaman misi dan penyatuan visi sebagai ciri khas kelompoknya. Dari mulai pemilihan warna, bahan, dan lambang partai sampai perpaduan desain, pola, ragam hias dan motif batik yang memiliki arti simbolik dalam dimensi sosial politik kebangsaan.
Secara simbolik, ragam hias dan motif batik Cirebon yang mengarah pada dimensi sosial politik dapat kita lihat pada ragam hias Singa Parsi sebagai perwujudan makna kemerdekaan Cirebon atas simbol kerajaan Padjadjaran, yakni ragam hias Singa Putih. Terdapat pula ragam hias lain yang memberikan makna hierarki sosial kemasyarakatan pada batik Cirebon yang membedakan abdi dalem (rakyat kebanyakan) dan kalangan ningrat (birokrat) akibat pengaruh dari agama Hindu-Jawa (keraton Surakarta dan Yogyakarta), misalnya ragam hias dengan motif yang halus dan garis-garis kecil yang hanya dipakai oleh kalangan ningrat seperti Semen Rama, Sawat Pengantin, Liris Seno, Patran, dan lunglungan. Berbeda dengan yang dikenakan oleh rakyat kebanyakan maka batik yang digunakan biasanya memiliki ragam hias yang kuat dan tebal dengan garis-garis yang tegas.
Berbusana dengan menggunakan motif-motif batik bisa menjadi tanda secara metaforis ala negara, dimana negara-bangsa mendandani diri melalui batik sebagai salah satu produk budaya untuk menunjukkan eksistensi, karakter dan nilai-nilai yang melekat secara simbolik. Batik merupakan pembungkus tubuh yang santun sekaligus menunjukkan keaslian (genuinitas) sosok seseorang menghargai karya bangsa sendiri. Dalam kaitannya dengan eksistensi, nilai-nilai, dan karakter, batik Cirebon menawarkan kearifan lokal yang dinamis untuk menunjukkan dinamisasi simbolik setiap individu dan masyarakat bangsa Indonesia.
Ragam hias batik Cirebon - Sawat, Lar, dan Parang – merupakan simbol atas negara terhadap keharmonisan hubungan internasional yang dijalin antar negara. Sementara hubungan bilateral suatu negara disimbolkan melalui perpaduan antara ragam hias Lereng Areuy dengan Liris Patran Kembang. Ragam hias lain yang menggambarkan hubungan antar negara adalah ragam hias Kapal Kandas, Lengko-lengko, dan Obar-abir. Semangat kearifan lokal (local wisdom) dalam batik Cirebon memberikan isyarat simbolik pada masyarakat bangsa untuk menunjukkan kecintaannya pada alam lingkungan sekitar. Alam menjadi indah dan bermanfaat sebagai suatu sumber daya yang dapat memberikan penghidupan kepada masyarakatnya disimbolkan melalui ragam hias batik Cirebon lkan, Udang, Gangeng, Rumput Laut, Patran Kangkung, Wadasan, Mega Mendung, dan Utah-utahan. Alam menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, maka penyatuan antara manusia, alam dan Sang Penciptanya digambarkan melalui batik Taman Arum Sunyiaragi.
Karakter dan nilai-nilai simbolik batik Cirebon yang meruang dan mewaktu atas eksistensi manusia digambarkan melalui ragam hias Ayam Alas Gunung Jati sebagai bentuk etos kerja yang ulet di era informasi. Ragam hias Kapal Kandas menyimbolkan ketabahan dan ketangguhan manusia dalam menghadapi cobaan, musibah, dan liku-liku hidup pada perjalanannya mencapai tujuan. Ragam hias Kapal Keruk menggambarkan keuletan manusia dalam menggali ilmu. Sementara ragam hias Simbar Kendok dan Simbar Menjangan yang berupa tanaman merambat menyimbolkan kekuatan dan keuletan manusia dalam bekerja, berkarya dan berusaha.
Melalui batik, dimensi ruang dan waktu secara simbolik menghapus perbedaan gender yang saat ini menjadi isu yang membingungkan. Batik tidak saja milik kaum lelaki namun juga milik perempuan. Kesetaraan gender diperlihatkan oleh batik dengan tidak membeda-bedakan jenis kelamin. Hal ini mengahapus surat-surat keputusan (besluiten) yang dicantumkan pada staatsblad sejak pemerintahan kolonial Daendels. Kolonialisasi menurut Jean Gelman Taylor merepresentasikan perspektif gender dalam mengeksplorasi bagaimana negara kolonial telah mendorong perbedaan penampilan antara laki-laki dan perempuan. Dengan batik Indonesia (Cirebon, misalnya) cara berbusana melengkapi salah satu jawaban atas isu perbedaan gender. Kesamaan gender didapat dari kesan santun, lembut, dan berwibawa, baik terhadap laki-laki dan perempuan yang mengenakan batik Indonesia.
Jika dahulu busana sangat memihak kaum lelaki daripada perempuan, kini dengan busana batik tak ada keberpihakan di antara keduanya. Justru saat ini semakin banyak mode yang ditujukan kepada perempuan sebagaimana prinsip simbolik yang banyak menawarkan kebebasan ekspresi perempuan. Melalui batik, perempuan dihadapkan pada aktifitas yang kurang lebih sama dari laki-laki, bahkan ekspresi, kreatifitas, dan talentanya dituntut mengungguli kaum lelaki atas keberadaan batik.(***)
Penulis adalah: Doktor bidang Komunikasi Seni. Direktur Program Pascasarjana STSI bandung